Rasanya sejak
tahun 2008, gerakan entrepreneurship mulai banyak digaungkan di Indonesia. Atau
mungkin lebih lama dari itu. Mungkin Saja karena saya termasuk bentukan ledakan
entrepreneur di tahun itu.
Isu
kesejahteraan dan kurangnya pengusaha di negeri ini, membuat setiap orang
bergerak untuk menjadi entrepreneur. Dalam beberapa momen pun, isu anti jadi
karyawan pun dihembuskan, mulai dari isu gaji pasti tapi pasti gak cukup,
hingga teorema bos dan bawahan. Terus didengungkan hingga meledakkan jumlah
entrepreneur start up di Indonesia.
Kejadian ini
tentu positif. UKM bertumbuh dimana-mana. Sektor informal bergerak luar biasa,
karena UKM menyerap tenaga kerja yang awalnya menjadi beban negara. Munculnya
pengusaha baru yang berbentuk UKM ini, mendorong hadirnya arus transaksi yang
kemudian menjadi penggerak ekonomi, positif bukan?
Namun
kemudian, ada hal yang dilupakan. Usaha mencetak entrepreneur ini tidak
diimbangi dengan usaha mencetak profesional yang siap berdarah-darah
didalamnya.
Ijinkan Saya
menjelaskannya...
Misalkan Ibu
Yanti memutuskan untuk mambangun toko baju kecil-kecilan. Ibu Yanti memutuskan
menjual baju muslim anak yang keren, merknya KeKe. (Ngiklan gak papa ya)
Karena
produk KeKe laku dan terus menerus dicari pembeli, akhirnya Ibu Yanti mampu
menggaet profit cukup banyak. Setiap tahun Bu Yanti memutuskan menambah outlet.
Hingga tahun demi tahun, akhirnya Bu Yanti memiliki 12 outlet dalam 4 area mall
yang berbeda.
Bu Yanti
mulai kebingungan mengatur stock, data stock yang dahulu bisa dicatat di excel,
mulai kocar-kacir. Bu Yanti pun kemudian kesulitan mengontrol toko, setiap hari
Bu yanti harus berkeliling ke 4 area berbeda dengan titik kontrol 12
outlet.
Bu Yanti
lalu mulai mengeluh tentang SPG yang tidak bisa diatur, kepala toko yang tidak
becus, karyawan yang mudah berpindah karena digaji lebih baik. Bu Yanti pun
pusing. Dan memutuskan mengurangi tokonya.
"Mentok"
Inilah yang
Saya sebut dengan tangga yang putus. Entrepreneur Indonesia, susah naik kelas
karena kekurangan SDM yang handal. SDM handal ada, tapi jumlah mereka sedikit.
Sebagian besar mereka tidak berkenan untuk bekerja di perusahaan skala UKM.
Sebagian besar mereka memilih untuk bekerja di perusahaan yang sudah mapan. Dan
inilah proses alami yang terjadi : SDM handal akan memilih perusahaan besar.
Lalu nasib UKM bagaimana?
Sahabat
bloger strategimanajemen telah membahas hal ini : UKM hanya dapat pekerja KW3.
Pekerja ORI bergerak ke perusahaan yang mapan. Ini benar-benar tangga yang
putus bagi UKM.
Bagaimana
pun, seorang Pengusaha UKM yang bertumbuh akan menemukan titik dimana
perusahaannya harus dijalankan oleh tim profesional. Ketika UKM ingin naik
kelas, SDM nya pun harus memiliki kompetensi untuk menaikan kelas si UKM.
Saya menemukan
bahwa banyak UKM yang tidak bisa membedakan antara marketing dan selling. Tidak
bisa memaknai Brand. Tidak mampu membaca financial statement. Mereka
kebingungan menulis profit yang tidak sama dengan cash yang ada. Benar-benar
tidak mampu membaca financial statement.
Tangga yang
putus ini harus segera disadari. Ketika negeri ini tidak mampu mencetak
profesional yang mau terjun ke UKM, UKM-UKM Indonesia akan terus berada pada
level yang mengenaskan.
Mari maknai
ilustrasi sederhana yang Saya sampaikan..
Jika sebuah
UKM hanya mampu menggaji seorang General Manager di 15 juta, pertanyaannya,
bagaimana jika sosok yang sama bisa digaji oleh perusahaan besar dengan gaji 18
juta di posisi Staff. Kira-kira, apa yang akan dia pilih?
Jika penghasilan
GOJEK yang katanya 13 juta sebulan bisa membuat seorang IT Manager Resign..
rasanya.. UKM Indonesia menghadapi tangga yang putus.
(oleh : Rendy Saputra)
Sukses Online Untuk Anda
#incometambahan
#penghasilansampingan #meningkatkanincome #raihkesempatan
#catatanbisnisonline #investasikeuangan #jenissumberaset
#peluangusahabagus #produkdigitalmarketing